Cita-Cita Mulia Berkuliah Ilmu Komunikasi - Saya mahasiswa Ilmu Komunikasi tahun keempat. Sampai saat
ini, saya menempuh 6 semester, 47 mata kuliah, dan 137 SKS. Namun, harus saya
akui, semua mata kuliah tersebut tak benar-benar mengilhami saya sebuah ide
mulia untuk kemashlahatan umat. Saya terkungkung dalam teori-teori komunikasi
yang terkadang nampak begitu egois. Orang-orang menyebut saya gagal move-on
dari sebuah “Cita-Cita Mulia”. And this is my story…
Jurnalis yang Mulia
Dulu, kukira seorang jurnalis adalah pekerjaan mulia. Mereka
mampu menyuarakan penindasan, penyimpangan, dan segala ketidakteraturan di
dunia lewat tulisan. Lalu, mereka menerbitkannya di surat kabar, televisi, atau
radio dan internet. Dengan begitu para penguasa yang keji dan semena-mena akan
segera bertaubat—atau minimal mendapat kecaman masyarakat agar segera turun
jabatan.
Tapi, itu dulu. Sebelum aku tahu bagaimana perputaran berita
di sebuah media; Bagaimana egoisme media dalam menentukan agenda setting bagi
masyarakat; serta bagaimana para editor melakukan framing berita sedemikian
rupa supaya hasilnya ‘pas’ dengan ideologi dan kepentingan sang pemilik. Ketika
hal-hal yang tak penting kemudian diberitakan terus-terusan demi mengejar
rating dan oplah; atau ketika propaganda politis dilakukan secara terselubung
dan mencuri hak masyarakat untuk menerima informasi yang lebih baik… kupikir
ini semua kesalahan wartawan yang gagal mengaplikasikan mata kuliah Dasar-Dasar
Jurnalistik dan Hukum Media Massa. Namun, penyebabnya tak sedangkal itu. Lewat
iming-iming gaji bulanan para penguasa memeras loyalitas, integritas, dan juga
idealisme wartawan agar tunduk kepadanya—bagaimana sebaiknya berita ditulis,
di-edit, dan diterbitkan.
Sutradara yang Mulia
Sebelum aku kuliah Ilmu Komunikasi, aku juga bermimpi
menjadi sutradara atau creative director sebuah iklan, film, atau program
televisi. Dulu—dan sampai saat ini, aku muak melihat tayangan iklan, sinetron,
talkshow, reality show, dan berbagai bentuk hiburan lainnya yang menyesatkan.
Iklan-iklan dibuat sensual, sinetron di televisi menebarkan glamoritas, serta
program komedi yang ‘ugal-ugalan’ dan tak mendidik. Kupikir ini semua berkat
sutradara yang tak memiliki kreatifitas. Bisanya cuma membuat program-program
sampah yang tak layak tonton.
Sekali lagi, itu hanya pemikiran lamaku. Ketika aku belum
tahu bagaimana ekonomi politik media merasuki tubuh para penguasa; ketika
benih-benih liberalisme ditanam pada otak pekerja media—dan segalanya menjadi
‘halal’ selama diorientasikan untuk kepentingan profit. Dulu aku tak pernah tau
apa itu komodifikasi, spasialisasi, dan strukturasi. Yang kutau: mengapa
tayangan televisi selalu buruk di mataku?
Belakangan, aku tau salah satu penyebabnya adalah ulah
komodifikasi—sebuah tranformasi nilai guna menjadi komoditas. Nilai dakwah,
nilai seni, fungsi informasi, edukasi…. semuanya diubah menjadi komoditas
bernilai jual. Itulah mengapa sinetron Indonesia menawarkan skenario yang
selalu sama: anak hilang, tertukar, rebutan warisan, rebutan pacar, atau
insyafnya orang yang terkena azab Tuhan. Lalu, model-model iklan yang selalu
menampilkan wanita cantik dan seksi, atau laki-laki tinggi dan six pack. Dan
juga beberapa stasiun yang memilih impor sinetron dari India, Korea, atau
Turki. Mereka bukan semata-mata pesimis dengan kualitas sinetron dalam negeri.
You know why? It’s to be a commodification. (Ya emang tayangan kayak gini yang
bisa menaikkan rating!)
Humas yang Mulia
Pesimis dengan dunia media, akhirnya aku memilih menjadi
humas saja. Menjadi seorang Public Relation (PR) profesional—yang selalu berjas
rapi, berdasi, tersenyum manis dan ber-make up elegan. Mengabarkan kebaikan
perusahaan kepada seluruh stakeholder dan merancang program-program Coorporate
Social Responsibility (CSR) sebagai bentuk tanggungjawab sosial. Hmm… profesi
ini amat mulia bukan?
Iya, mereka amatlah mulia—sebelum akhirnya aku tahu
kebobrokan dibalik senyum manis yang mereka tampilkan. Kelihaian mereka dalam
berbicara, mempersuasi masyarakat lewat bauran pemasaran, serta bagaimana
manajemen kesan yang baik ketika perusahaan menghadapi krisis kepercayaan….
hanyalah sebagian kecil dari fungsi PR untuk mempertahankan citra perusahaan.
Seluruh kebaikan mereka layaknya seorang bocah yang mematuhi perintah ibunya
demi imbalan sebuah mainan. Atau analogi kejamnya adalah mirip seorang hamba
yang melakukan kebaikan demi riya’ di depan saudaranya. Eits, tapi bukan
berarti PR itu berbuat riya’. Bukannnnn…!! (Ya emang kayak gini tugas mereka:
mencegah krisis, mencitrakan perusahaan, dan membangun kepercayaan).
Tentang Ambivalensi dan Ilmu Setan
Aku jadi ingat kata-kata retoris dari salah seorang dosen di
awal kuliahku. Beliau mengatakan, “Berhati-hatilah dengan Ilmu Komunikasi. Ini
‘ilmu setan’. Ilmu ini sedang populer sekarang dan banyak yang ingin
menguasainya.” Saat itu aku tak paham apa maksud beliau. Perlahan—setelah
menerima berbagai ilmu pengetahuan dan kontemplasi panjang—aku menyadari, “Ini
beneran ‘ilmu setan’ bagi yang menyalahgunakannya. Seperti penguasa layar kaca
yang merampok frekuensi publik, para propagandis yang mengajarkan sekte
menyesatkan, atau tenaga kreatif yang menghalalkan segala bentuk penyimpangan
atas nama seni”
Selama ini aku dibuat ambivalen; sepeti ada ujian ideologi
ketika berkuliah Ilmu Komunikasi. Di satu sisi diajarkan kritis lewat mata
kuliah Hukum Media Massa, Ekonomi Politik Media, dsb. Tapi di sisi lain
dituntut liberal lewat mata kuliah Fotografi, Produksi Media, dsb. Dapatkah aku
mix and match keduanya? Mungkin ini pemikiran orang-orang normatif yang selalu
mencari aman. Tapi sampai saat ini aku belum menemukan jawabannya. Sebab, aku
juga pernah mendengar dalih yang begitu pedasnya dari seorang senior,
“Setengah-setengah itu banci!” ujarnya.
Di sisa kuliahku di jurusan Ilmu Komunikasi, aku memilih
menjadi mahasiswa yang baik, rajin, dan tak banyak bertanya. Biarlah nanti
ujian ideologi yang akan menentukan nasibku menjadi seorang kritis, liberal,
atau normatif. Aku hanya perlu memikirkan kata-kata yang tepat untuk menjawab
pertanyaan polos ibuku, “Sekolah opose awakmu? Gak koyok arek kesehatan utowo
pendidikan ae. Jange dadi opo? Sekolah kok dolan terus, tuku koran, gawe film,
kate digae opo? (Sekolah apa kamu? Nggak kayak anak kesehatan atau pendidikan.
Mau jadi apa? Kuliah kok touring terus, beli koran, membuat film, emang mau
dibuat apa?)”
And I haven’t the right answer for that’s questions.
Oleh: Riris Aditia N